Selasa, 04 Desember 2012

Mendayung di antara dua karang


Pidato Bung Hatta sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) tanggal 2 September 1948.

… politik luar negeri Republik Indonesia disebut politik bebas aktif. Bebas artinya menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak manapun; aktif artinya menuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan segala bangsa … (Bung Hatta)

------------------------------------------------

Berikut cuplikan pidatonya,

Saudara Ketua,


Tindakan Belanda pada waktu akhir ini menyatakan benar, bahwa Belanda dalam politiknya ingin kembali kepada cita-cita “Rijksverband”-nya yang dahulu, yang sebenarnya tak pernah dilepaskannya. Dan politiknya itu mau dipaksakannya kepada kita dengan mengadakan satu “fait accompli”, yaitu dengan menyorongkan suatu pemerintahan federal sementara yang dibentuknya secara unilateral kepada kita.

Dan mungkin pula pemerintahan federal sementara itu diperalat lagi untuk menindas Republik Indonesia. Saudara-saudara kita di daerah Malino dan daerah pendudukan hendak diperkuda untuk memaksakan kemauan Belanda kepada Republik Indonesia. Belanda menjalankan politik “devide et impera in optima forma”

Kita jangan bingung dan jangan gelisah melihat tindakan Belanda yang semacam itu, karena segala perbuatannya itu tidak menunjukkan suatu kedudukan yang kuat. Kita harus tenang dan tetap memegang pendirian yang telah kita ambil. Janganlah kita dapat diombang-ambingkan oleh “maneuver” Belanda itu.


Tetapi kedudukan kita yang kuat itu diperlemah oleh kekusutan di dalam, oleh pertentangan politik yang semakin lama semakin hebat, seolah-olah kawan seperjuangan yang berlainan faham dipandang musuh yang lebih besar daripada Belanda sendiri. Sentimen terlalu diperhebat sehingga lupa pada kenyataannya, bahwa kemerdekaan kita hanya bisa selamat apabila kita dapat menyiapkan suatu benteng persatuan yang kokoh.

Keadaan-keadaan yang akhir ini menunjukkan bahwa kesulitan-kesulitan kita ke dalam sangat besar. Tambahan lagi karena perputaran pendirian dalam kalangan FDR, dari pembela politik Linggarjati dan Renville jadi penentangnya.

Dari kalangan FDR yang selama ini mati-matian membela politik Renville terdengar suara yang mengusulkan supaya Persetujuan Renville dibatalkan dan perundingan dengan Belanda diputuskan. Kalangan ini menganjurkan supaya Republik Indonesia yang perjuangannya adalah menentang imperialisme, terus terang memilih tempat pada front anti imperialisme, terus terang memilih tempat pada front anti imperialis yang dipimpin oleh Sovyet-Rusia untuk menentang imperialisme.

Jika ditinjau sepintas lalu maka nampaklah suatu keganjilan politik. Golongan yang bertanggung jawab tentang melahirkan Renville, sekarang membatalkannya. Dan golongan yang semulanya menentang Renville sekarang berusaha menyelenggarakannya oleh karena Renville itu telah diterima oleh Negara.

Situasi yang seperti ini sudah tentu melemahkan pendirian kita dalam menghadapi perundingan dengan Belanda. Situasi ini sebenarnya timbul sebagai akibat pergolakan politik internasional yang dikuasai oleh pertentangan Amerika-Russia.

Tetapi mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan Negara kita, hanya harus memilih pro Russia atau pro Amerika ? Apakah tak ada pendirian yang lain harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita ?

Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi obyek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya.

Perjuangan kita harus diperjuangkan atas dasar semboyan kita yang lama : Percaya akan diri sendiri dan berjuang atas kesanggupan kita sendiri. Ini tidak berarti bahwa kita tidak akan mengambil keuntungan daripada pergolakan politik internasional. Memang tiap-tiap politik untuk mencapai kedudukan Negara yang kuat ialah mempergunakan pertentangan internasional yang ada itu untuk mencapai tujuan nasional sendiri. Belanda berbuat begitu, ya segala bangsa sebenarnya berbuat semacam itu untuk mencapai tujuan nasionalnya sendiri, apa sebab kita tidak melakukannya ?

Tiap-tiap orang diantara kita tentu ada mempunyai simpati terhadap golongan ini atau golongan itu, akan tetapi perjuangan bangsa tidak bisa dipecah dengan menuruti simpati saja, tetapi hendaknya didasarkan kepada “realitiet”, kepada kepentingan Negara setiap waktu. Sovyet Russia sendiri memberi contoh kepada kita, bahwa politik internasional tidak bisa dihadapi dengan sentiment belaka, tetapi dengan realitiet dan dengan logika yang rasional.

Dalam tahun 1935, tatkala Sovyet Russia menghadapi arus fasis, ia merobah haluannya yang radikal (dalam) menentang Negara-negara demokrasi Barat dan menganjurkan kepada kaum komunis di luar Russia untuk memberhentikan serangannya kepada pemerintah-pemerintah kapitalis dan beserta dengan mereka mengadakan suatu “Volksfront-politik” untuk menentang fasis.

Malahan kepada bangsa-bangsa yang terjajah di waktu itu dianjurkan supaya mengurangi perjuangannya “yang tajam” menentang imperialisme colonial, melepas sementara waktu cita-cita kemerdekaan dan membantu membuat “volksfront” yang dianjurkan tadi.

Dalam tahun 1939 Sovyet Russia mengadakan perjanjian non-agresi dengan Nazi-Jerman, dan dengan perjanjian itu Russia selama 18 bulan terpelihara dari serangan Hitler; sementara itu ia dapat memperkuat alat pertahanannya. Timbangan yang rasionil memaksa Sovyet Russia mengadakan perjanjian dengan musuhnya. Dan apabila politik hanya didasarkan sentimen yang demikian itu tentu tidak mungkin terjadi.

Tentang perjuangan Indonesia, memang dapat dinyatakan “dua aliran politik” yang berlainan, yang pada dasarnya sama kuatnya; jika dipandang dari pokok pahamnya masing-masing.

Jika perjuangan ditinjau dari jurusan “komunisme”, memang benar segala-galanya didasarkan kepada politik Sovyet Russia. Bagi orang komunis, Sovyet Russia adalah “modal” untuk mencapai cita-citanya, karena dengan Sovyet Russia bangun atau jatuh perjuangan komunisme. Sovyet Russia adalah pelopor dalam menyelenggarakan idealnya, sebab itu kepentingan Sovyet Russia dalam perjuangan politik internasional diutamakannya.

Kalau perlu untuk memperkuat kedudukan Sovyet Russia, segala kepentingan di luar Sovyet Russia dikorbankan, terhitung juga kepentingan kemerdekaan Negara-negara jajahan, sebagaimana yang terjadi pada tahun 1935 dan seterusnya. Sebab, menurut pendapat mereka, apabila Sovyet Russia yang dibantu tadi sudah mencapai kemenangannya dalam pertempuran dengan imperialisme, kemerdekaan itu akan datang dengan sendirinya.

Tidak demikian pendirian seorang “nasionalis”, sekalipun pandangan kemasyarakatannya berdasarkan sosialisme. Dari tujuan politik-nasional, kemerdekaan itulah yang terutama, sehingga segala tujuan dibulatkan kepada perjuangan mencapai kemerdekaan itu. Perhitungan terutama ialah, betapa aku akan mencapai kemerdekaan bangsaku dengan selekas-lekasnya. Dan dengan sendiri perjuangannya itu mengambil dasar lain daripada perjuangan yang dianjurkan oleh seorang komunis.

Oleh karena itu tidak dengan sendirinya ia memilih antara dua aliran yang bertentangan. Betapa juga besar simpatinya kepada aliran yang lebih dekat kepadanya, ia tetap memilih langkah sendiri dalam menghadapi soal-soal kemerdekaan.

Betapa lemahnya kita sebagai bangsa yang baru merdeka dibandingkan dua raksasa yang bertentangan, Amerika Serikat dan Sovyet Russia, menurut anggapan pemerintah kita harus tetap mendasar perjuangan kita atas adagium : percaya kepada diri sendiri dan berjuang atas tenaga dan kesanggupan yang ada pada kita.