Kamis, 18 April 2013

Mengungkap Aktor di Balik Gerakan 30 September 1965

Peristiwa naas yang mengubah jalan sejarah Repubik Indonesia terjadi pada waktu subuh, 1 Oktober 1965, namun masyarakat memperingati kejadian ini pada tanggal 30 September. Para pelaku juga menyebut kegiatan mereka sebagai “Gerakan 30 September”, dan pemerintah Orde Baru menggunakan istilah “Gestapu” (Gerakan Tiga puluh September). Pada tiap tanggal 30 September bendera dikibarkan setengah tiang dan hari berikutnya dinaikan ke ujung tiang sebagai tanda kegagalan G30S dan kemenangan Orde Baru, yang oleh Presiden Soekarno disebut “Gestok” (Gerakan Satu Oktober).

Peristiwa G30S yang terjadi pada tahun 1965 ini masih merupakan peristiwa yang paling gelap dan kontroversial dalam sejarah Indonesia. Ketika berbicara soal siapa “aktor intelektual” atau dalang di balik peristiwa itu dan apa motif-motif mereka melakukan tindakan itu, maka persoalannya menjadi sangat rumit dan mengundang perdebatan.

Central Intelligence Agency (CIA) adalah dinas rahasia Amerika Serikat (AS) yang berdiri tahun 1947. Kelompok ini biasa disebut sebagai Special Group (Kelompok Istimewa) atau Secret Team (Tim Rahasia). Tugas utama CIA adalah menyerap informasi tentang negara-negara asing untuk kepentingan pemerintah Amerika Serikat. Pembentukan CIA pada dasarnya merupakan “jawaban” AS terhadap perubahan tatanan masyarakat internasional pasca Perang Dunia II (1939-1945). Amerika Serikat beserta negara-negara besar lainnya seperti Inggris, Perancis dan Uni Soviet berhasil mengalahkan kekuatan fasisme Jerman, Italia, dan Jepang. Namun kemenangan ini tidak menyebabkan persatuan semakin erat di antara negara-negara penantang fasisme. Justru yang terjadi sebaliknya, mereka dilanda perpecahan terutama di antara AS dan Uni Soviet yang menjadi dua negara terkuat pasca Perang Dunia II. Perpecahan AS versus Uni Soviet berkembang menjadi  Perang Dingin. Keduanya menghindari konflik senjata, namun memberikan dukungan kepada pihak-pihak yang bertikai. “Pernyataan Perang” AS terhadap Uni Soviet diumumkan oleh Presiden Harry S. Truman (1884-1972) di depan anggota Kongres pada tahun 1947. Pidatonya dikenal dengan sebagai Doktrin Truman. Pada dasarnya Doktrin Truman merupakan kebijakan luar negeri yang bersifat intervensi, meskipun dibungkus tujuan mulia membantu memulihkan perekonomian negara-negara yang mengalami kehancuran selama Perang Dunia II dan membantu kemerdekaan bangsa-bangsa  merdeka melawan usaha penaklukan kelompok bersenjata dukungan negara luar. Negara luar yang dikecam Truman adalah Uni Soviet karena telah memberi bantuan terhadap golongan komunis di seluruh dunia untuk merebut kekuasaan di negaranya masing-masing.


Pada tahun 1949 golongan komunis Cina di bawah kepemimpinan Mao Zedong (1839-1976), berhasil mengalahkan nasionalis Cina pimpinan Jenderal Chiang Kai-Shek (1887-1975). Kemenangan komunis di Cina ini memperbesar rasa komunisto phobia (ketakutan yang berlebihan terhadap komunis) untuk AS.

Mao Zedong

Golongan komunis di Indonesia sudah ada sejak awal tahun 1900-an dengan tokoh utamanya H.J.F.M. Sneevliet, J.A. Brandsteder, H.W. Dekker, dan P. Bergsma. Keempatnya mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) pada tahun 1914, organisasi beraliran Marxisme pertama di Asia Tenggara. ISDV kemudia berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI), dan sempat dihancurkan oleh pemerintah Hindia-Belanda pada akhir tahun 1920-an. Pada tanggal 4 Februari 1950 golongan komunis di Indonesia membangun kembali PKI.

Kemajuan PKI telah diantisipasi pihak Amerika Serikat sebagaimana tersirat dalam pesan Presiden Amerika Serikat Dwight David Eisenhower (1953-1961) pada tahun 1953 pada Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Hugh S. Cumming Jr (1953-1957). Ia oleh Eisenhower ditugasi untuk mencegah agar kemenangan golongan komunis di Cina tidak berulang di Indonesia. AS melalui CIA dan para elite partai PSI dan Masyumi mendukung pemberontakan PRRI/Permesta didasarkan rasa khawatir semakin menguat pengaruh komunis di Indonesia, terbukti dalam pemilu 1955 PKI masuk dalam 4 besar pemenang pemilu. Menteri Luar Negeri AS, Foster Dulles, yang meyakini kebenaran Teori Domino, menganggap Indonesia memiliki nilai strategis dalam upaya membendung pengaruh komunis di Asia Tenggara. Hal ini diduga bahwa jika Indonesia jatuh ke dalam pelukan komunis, maka negara-negara tetangga lainnya secara berantai akan jatuh ke dalam pengaruh komunis. Hal ini akan mengancam keberadaan aset-aset AS dan Sekutunya di kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara.

Pemerintahan Indonesia berhasil menghancurkan kekuasaan militer PRRI/Permesta dalam waktu yang relatif singkat, kurang dari satu bulan pada tahun 1958. Setelah kekalahan para pemberontak, Pemerintah AS langsung menghentikan dukungannya kepada PRRI/Permesta. Pada tahun 1960 Mayumi dan PSI menjadi partai terlarang karena PKI mendesak Presiden Soekarno agar membubarkan kedua partai itu dengan tuduhan berkhianat kepada negara. PKI juga berhasil membujuk Soekarno untuk membawa Indonesia ke dalam lingkungan negara-negara komunis, terutama Uni Soviet dan Cina. Bujukan PKI mudah diterima Sukarno karena Indonesia membutuhkan dukungan Uni Soviet dan RRC untuk memenangkan sengketa kepemilikan Irian Barat antara Indonesia dan Belanda.

Amerika Serikat berusaha mencegah Perang Indonesia-Belanda karena hanya akan mempercepat Indonesia jatuh ke dalam ‘pelukan’ Blok Komunis pimpinan Uni Soviet. Apabila Indonesia telah menjadi komunis, maka kawasan Asia Tenggara dan Timur dikepung oleh tiga kekuasaan komunis, yakni Uni Soviet, RRC dan Indonesia. Dengan demikian kepentingan Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis di Asia Tenggara dan Timur langsung terancam. Menyadari resiko yang akan ditanggung, maka AS dan Inggris segera mendesak Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Pada 15 Agustus 1962 di New York, Amerika Serikat, tercapai perjanjian damai antara Indonesia dan Belanda dengan hasil Irian Barat diserahkan kepada UNTEA yang dibentuk PBB. Satu tahun kemudian UNTEA menyerahkankekuasaan Irian Barat kepada Indonesia.


Keberhasilan Indonesia memanfaatkan iklim Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat dalam memenangkan kepemilikan Irian Barat membuat Sukarno makin percaya diri untuk menampilkan Indonesia sebagai pemimpin dunia. Hal ini bisa dilihat dari penentangan Indonesia terhadap pembentukan negara federasi Malaysia yang disponsori Inggris, keluar dari keanggotaan PBB dan upaya membentuk organisasi tandingan PBB yaitu Conference of New Emerging Force (CONEFO). Embrio dari CONEFO adalah pembentukan aliansi dengan negara-negara komunis di Asia Tenggara dan Timur. Keberadaan poros ini langsung mengancam kepentingan Amerika Serikat, Perancis dan Inggris yang ingin mempertahankan pengaruhnya di Asia Timur dan Tenggara.


Tidak ayal lagi bahwa rencana aliansi Indonesia dengan sejumlah negara komunis di Asia Timur mempertinggi ketegangan politik di Asia Timur dan Tenggara. Rencana aliansi ini meyakinkan Amerika Serikat dan sekutunya tentang kemenangan golongan komunisme di Indonesia. Namun, rencana pembentukan poros ini berantakan akibat terjadi krisis politik di Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1965, yang berujung dengan kejatuhan Presiden Soekarno.


Krisis politik itu berawal dari aksi penculikan dan pembunuhan enam perwira tinggi yang memimpin Markas Besar Angkatan Darat oleh Gerakan 30 September pimpinan Letkol Untung, salah seorang Komandan Batalion Resimen Cakrabirawa yang bertugas menjaga keselamatan Presiden Soekarno. Keberhasilan Untung menyelamatkan Presiden Soekarno dan Republik Indonesia tersebut disiarkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) pada pukul 07.15 WIB pada 1 Oktober 1965. Pihak yang mengancam keselamatan Presiden Soekarno dan RI adalah sejumlah jenderal Angkatan Darat yang tergabung dalam Dewan Jenderal. Menurut siaran berita RRI itu, Dewan Jenderal adalah gerakan subversif yang disponsori oleh CIA.

Menteri/Panglima Angkatan Udara Republik Indonesia Laksamana Madya Omar Dhani mendukung hasil-hasil analisis Gerakan 30 September bahwa CIA berada di belakang rencana bubversif Dewan Jenderal. Kesimpulan serupa dilontarkan pula oleh Presiden Soekarno dalam pidato pertanggungjawabannya yang berjudul Pelengkap Nawaksara kepada peserta SU MPRS (Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) pada bulan Juni 1966. Hanya saja Soekarno tidak menyebutkan CIA secara spesifik, tetapi secara umum, yakni subversi Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Istilah Nekolim merupakan ciptaan Soekarno untuk menyebut Blok Barat pimpinan Amerika Serikat.

Selasa, 04 Desember 2012

Mendayung di antara dua karang


Pidato Bung Hatta sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) tanggal 2 September 1948.

… politik luar negeri Republik Indonesia disebut politik bebas aktif. Bebas artinya menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak manapun; aktif artinya menuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan segala bangsa … (Bung Hatta)

------------------------------------------------

Berikut cuplikan pidatonya,

Saudara Ketua,


Tindakan Belanda pada waktu akhir ini menyatakan benar, bahwa Belanda dalam politiknya ingin kembali kepada cita-cita “Rijksverband”-nya yang dahulu, yang sebenarnya tak pernah dilepaskannya. Dan politiknya itu mau dipaksakannya kepada kita dengan mengadakan satu “fait accompli”, yaitu dengan menyorongkan suatu pemerintahan federal sementara yang dibentuknya secara unilateral kepada kita.

Dan mungkin pula pemerintahan federal sementara itu diperalat lagi untuk menindas Republik Indonesia. Saudara-saudara kita di daerah Malino dan daerah pendudukan hendak diperkuda untuk memaksakan kemauan Belanda kepada Republik Indonesia. Belanda menjalankan politik “devide et impera in optima forma”

Kita jangan bingung dan jangan gelisah melihat tindakan Belanda yang semacam itu, karena segala perbuatannya itu tidak menunjukkan suatu kedudukan yang kuat. Kita harus tenang dan tetap memegang pendirian yang telah kita ambil. Janganlah kita dapat diombang-ambingkan oleh “maneuver” Belanda itu.


Tetapi kedudukan kita yang kuat itu diperlemah oleh kekusutan di dalam, oleh pertentangan politik yang semakin lama semakin hebat, seolah-olah kawan seperjuangan yang berlainan faham dipandang musuh yang lebih besar daripada Belanda sendiri. Sentimen terlalu diperhebat sehingga lupa pada kenyataannya, bahwa kemerdekaan kita hanya bisa selamat apabila kita dapat menyiapkan suatu benteng persatuan yang kokoh.

Keadaan-keadaan yang akhir ini menunjukkan bahwa kesulitan-kesulitan kita ke dalam sangat besar. Tambahan lagi karena perputaran pendirian dalam kalangan FDR, dari pembela politik Linggarjati dan Renville jadi penentangnya.

Dari kalangan FDR yang selama ini mati-matian membela politik Renville terdengar suara yang mengusulkan supaya Persetujuan Renville dibatalkan dan perundingan dengan Belanda diputuskan. Kalangan ini menganjurkan supaya Republik Indonesia yang perjuangannya adalah menentang imperialisme, terus terang memilih tempat pada front anti imperialisme, terus terang memilih tempat pada front anti imperialis yang dipimpin oleh Sovyet-Rusia untuk menentang imperialisme.

Jika ditinjau sepintas lalu maka nampaklah suatu keganjilan politik. Golongan yang bertanggung jawab tentang melahirkan Renville, sekarang membatalkannya. Dan golongan yang semulanya menentang Renville sekarang berusaha menyelenggarakannya oleh karena Renville itu telah diterima oleh Negara.

Situasi yang seperti ini sudah tentu melemahkan pendirian kita dalam menghadapi perundingan dengan Belanda. Situasi ini sebenarnya timbul sebagai akibat pergolakan politik internasional yang dikuasai oleh pertentangan Amerika-Russia.

Tetapi mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan Negara kita, hanya harus memilih pro Russia atau pro Amerika ? Apakah tak ada pendirian yang lain harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita ?

Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi obyek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya.

Perjuangan kita harus diperjuangkan atas dasar semboyan kita yang lama : Percaya akan diri sendiri dan berjuang atas kesanggupan kita sendiri. Ini tidak berarti bahwa kita tidak akan mengambil keuntungan daripada pergolakan politik internasional. Memang tiap-tiap politik untuk mencapai kedudukan Negara yang kuat ialah mempergunakan pertentangan internasional yang ada itu untuk mencapai tujuan nasional sendiri. Belanda berbuat begitu, ya segala bangsa sebenarnya berbuat semacam itu untuk mencapai tujuan nasionalnya sendiri, apa sebab kita tidak melakukannya ?

Tiap-tiap orang diantara kita tentu ada mempunyai simpati terhadap golongan ini atau golongan itu, akan tetapi perjuangan bangsa tidak bisa dipecah dengan menuruti simpati saja, tetapi hendaknya didasarkan kepada “realitiet”, kepada kepentingan Negara setiap waktu. Sovyet Russia sendiri memberi contoh kepada kita, bahwa politik internasional tidak bisa dihadapi dengan sentiment belaka, tetapi dengan realitiet dan dengan logika yang rasional.

Dalam tahun 1935, tatkala Sovyet Russia menghadapi arus fasis, ia merobah haluannya yang radikal (dalam) menentang Negara-negara demokrasi Barat dan menganjurkan kepada kaum komunis di luar Russia untuk memberhentikan serangannya kepada pemerintah-pemerintah kapitalis dan beserta dengan mereka mengadakan suatu “Volksfront-politik” untuk menentang fasis.

Malahan kepada bangsa-bangsa yang terjajah di waktu itu dianjurkan supaya mengurangi perjuangannya “yang tajam” menentang imperialisme colonial, melepas sementara waktu cita-cita kemerdekaan dan membantu membuat “volksfront” yang dianjurkan tadi.

Dalam tahun 1939 Sovyet Russia mengadakan perjanjian non-agresi dengan Nazi-Jerman, dan dengan perjanjian itu Russia selama 18 bulan terpelihara dari serangan Hitler; sementara itu ia dapat memperkuat alat pertahanannya. Timbangan yang rasionil memaksa Sovyet Russia mengadakan perjanjian dengan musuhnya. Dan apabila politik hanya didasarkan sentimen yang demikian itu tentu tidak mungkin terjadi.

Tentang perjuangan Indonesia, memang dapat dinyatakan “dua aliran politik” yang berlainan, yang pada dasarnya sama kuatnya; jika dipandang dari pokok pahamnya masing-masing.

Jika perjuangan ditinjau dari jurusan “komunisme”, memang benar segala-galanya didasarkan kepada politik Sovyet Russia. Bagi orang komunis, Sovyet Russia adalah “modal” untuk mencapai cita-citanya, karena dengan Sovyet Russia bangun atau jatuh perjuangan komunisme. Sovyet Russia adalah pelopor dalam menyelenggarakan idealnya, sebab itu kepentingan Sovyet Russia dalam perjuangan politik internasional diutamakannya.

Kalau perlu untuk memperkuat kedudukan Sovyet Russia, segala kepentingan di luar Sovyet Russia dikorbankan, terhitung juga kepentingan kemerdekaan Negara-negara jajahan, sebagaimana yang terjadi pada tahun 1935 dan seterusnya. Sebab, menurut pendapat mereka, apabila Sovyet Russia yang dibantu tadi sudah mencapai kemenangannya dalam pertempuran dengan imperialisme, kemerdekaan itu akan datang dengan sendirinya.

Tidak demikian pendirian seorang “nasionalis”, sekalipun pandangan kemasyarakatannya berdasarkan sosialisme. Dari tujuan politik-nasional, kemerdekaan itulah yang terutama, sehingga segala tujuan dibulatkan kepada perjuangan mencapai kemerdekaan itu. Perhitungan terutama ialah, betapa aku akan mencapai kemerdekaan bangsaku dengan selekas-lekasnya. Dan dengan sendiri perjuangannya itu mengambil dasar lain daripada perjuangan yang dianjurkan oleh seorang komunis.

Oleh karena itu tidak dengan sendirinya ia memilih antara dua aliran yang bertentangan. Betapa juga besar simpatinya kepada aliran yang lebih dekat kepadanya, ia tetap memilih langkah sendiri dalam menghadapi soal-soal kemerdekaan.

Betapa lemahnya kita sebagai bangsa yang baru merdeka dibandingkan dua raksasa yang bertentangan, Amerika Serikat dan Sovyet Russia, menurut anggapan pemerintah kita harus tetap mendasar perjuangan kita atas adagium : percaya kepada diri sendiri dan berjuang atas tenaga dan kesanggupan yang ada pada kita.

Minggu, 04 November 2012

Mimpi itu, terjadi lagi..

Sejak kecil, aku selalu mendapatkan mimpi yang menyeramkan. Entah kenapa, mimpi itu selalu datang pada hari dimana aku melihat ular, ya, ular, meskipun aku hanya melihatnya di tv tapi tetap saja malamnya aku selalu bermimpi seram itu.
Di dalam mimpi itu, aku selalu merasa hal itu nyata, aku dililit ular besar berwarna hitam bercorak coklat dengan lidah yang selalu menjalar keluar. Ular itu melilitku dengan sekuat tenaganya, meskipun hanya mimpi tapi aku merasakan jantungku berhenti berdetak untuk sejenak. Disaat kepala ular itu sudah tepat berada di depan mataku,aku berteriak dan seketika aku terbangun dengan tangisan.
Mimpi ini selalu aku alami semenjak aku masih kecil, dan sejak itu aku jadi phobia terhadap ular, untuk itu aku selalu menghindari melihat ular secara langsung ataupun di televisi.
Dan aku selalu berharap mimpi itu tidak pernah datang lagi.

Kamis, 23 Agustus 2012

Thanks God I Have Them

Terima kasih Tuhan, Engkau telah mengirimkan mereka ke hidupku.
Yang gue maksud dengan mereka itu adalah 7 malaikat yang selalu mewarnai hari-hari gue, merekalah yang gue sebut sebagai my sevængel. Gue sangat berterima kasih sama Tuhan, karena gue punya mereka yang selalu menghadirkan canda tawa, kegilaan, warna dan nasihat yang terkadang ga masuk akal. Meskipun kelakuan mereka agak 'normal' tapi mereka seru, gue bisa share tentang apapun ke mereka. Mereka sahabat-sahabat terbaik gue, dan mereka adalah:
1. Anisah
2. Irfany Alfiah Rahmah
3. Masayu Rillyta
4. Nur Mawaddah
5. Riffy Septi Nursyamsiah
6. Rizka Ardiani Gasalba
7. Sintia Fitriani
Kisah kami berawal dari SMA Negeri 63 Jakarta, dan sekarang kami menimba ilmu ke Universitas yang berbeda-beda. Anisah atau yang akrab kami panggil dengan Nisul berkuliah di Semarang, tepatnya di Universitas Negeri Semarang, Irfany atau Fany berkuliah di Universitas Trisakti, Nur Mawaddah atau Mawar berkuliah di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, sementara Masayu (Litung), Riffy (Ipi), Rizka (Riskul) dan Sintia (Tiyul) kembali bersama di Universitas Nageri Jakarta.


Well, gue berharap meskipun kami sudah berbeda provinsi dan berbeda tempat menimba ilmu, kami masih bisa bersahabat sampai kami tua nanti. Remember, my 7 can't be replaced and I love them very much :)

Rabu, 15 Agustus 2012

Rabu, 25 April 2012

Hidup

Hidup ini sungguh aneh dan tidak adil. Suatu kalihidup melambungkanmu setinggi langit, kali lainnya hidup menghempaskanmu begitu keras ke bumi.